Oleh Masfufah, S.psi *
Akhir 1997, majalah Gatra-bekerja sama Laboratorium Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (LIP FISIP-UI)-- menjaring 800 responden remaja berusia 15-22 tahun di Jakarta. Hasilnya, sebanyak 45,9% (367 responden) memandang berpelukan antarlawan jenis adalah hal wajar, 47,3% (378 responden) membolehkan cium pipi, 22% tak menabukan cium bibir, 11% (88 orang) oke saja dengan necking alias cium leher atau cupang, 4,5% (36 responden) tak mengharamkan kegiatan raba-meraba, 2,8% (22 responden) menganggap wajar melakukan petting. Dan 1,3% (10 responden) tak melarang senggama di luar nikah.
Sebuah baseline survey di Semarang yang melibatkan 127 orang responden, yang dilakukan Pilar-PKBI Jawa Tengah yang bekerjasama dengan Tim Embrio 2000, pada tahun 2000 di Semarang menujukkan bahwa 48% responden pernah meraba daerah sensitif saat berpacaran, 28% responden telah melakukan petting dan 20% melakukan hubungan seksual.3
Setiap tahun dari 3000 remaja --sekitar 1 diantara 4 remaja yang secara seksual aktif tertular Penyakit Menular Seksual (PMS). Survei juga didapati, bila remaja memiliki rata-rata tertinggi tertular gonorrhea dibanding dengan orang dewasa yang seksual aktif dan wanita berumur 20-44 tahun.
Inilah angka-angka menakutkan berkaitan dengan perkembangan remaja kita hari ini. Persoalan ini menunjukkan kepada kita bahwa perkembangan seksualitas anak dan remaja kita, dari tahun ke tahun semakin bertambah.
Masalahnya, perkembangan itu bukan bertambah baik tapi justru semakin mengerikan. Sebab, umumnya, perkembangan hubungan seksualitas anak dan remaja kita diakibatkan adanya persepsi yang keliru mengenai pacaran. Banyak orang tua tertipu penampilan anak-anak mereka. Di rumah, dia adalah anak yang sopan, pendian dan terkesan lugu. Namun diluar sana, dia justru mengahkan orang-orang dewasa. Bahkan, mungkin lebih gila dari sekedar itu.
Konseling Sahaja-PKBI DIY pernah meneliti menyangkut persoalan remaja, khususnya menyangkut hubungan pacaran. Penelitian –yang sebenarnya merupakan rekap konsultasi itu—dilakukan sejak tahun 1998 hingga 1999 dilakukan terhadap 1.514 klien. Berdasarkan laporan itu, hampir separuh (48 persen) dari 1.514 klien yang melakukan konsultasi, mengalami permasalahan seputar pacaran. Misalnya; persoalan komunikasi (30 persen), taksir-menaksir (25 persen), perselingkuhan (4 persen) serta permasalahan patah hati, kekerasan, persiapan pernikahan, beda agama, konflik dengan pihak ketiga dan lain sebagainya. Namun yang lebih menarik dari penelitian itu adalah keberanian para anak dan remaja kita dalam melakukan aktifitas seksual yang seharusnya hanya dilakukan oleh pasangan suami-istri yang syah.
Mengapa terjadi masalah seperti ini? Jawabannya mungkin panjang. Hanya saja, salah satu factor utama adalah masalah berkaitan dengan pendidikan seksual anak-anak kita. Atau bisa juga disebut dengan ‘pendidikan kedewasaan’.
Istilah pendidikan seks, sering dipahami keliru banyak orang seolah-olah mengajarkan pendidikan hubungan intim layaknya apa yang dilakukan suami-istri. Padahal, yang dimaksud dari makalah ini adalah tidaklah demikian.
Sering kita menghadapi pertanyaan sepele dari buah hati kita menyangkut masalah seksual. Misalnya; saat anak bertanya, “Umi, dari mana adik lahir? Kenapa ibu bisa hamil? Pacaran itu boleh nggak sih? Umi, kenapa sih wanita bisa hamil sedang pria tidak?
Biasanya, para orangtua, senantiasa menghadapi pertanyaan ini dengan emosional. Ada tiga cara yang dilakukan orangtua:
Pertama, Pertama, langsung menampar atau membentak. “Husss! Anak kecil tak boleh bicara itu. Awas kalau diulangi lagi!.
Kedua, berusaha menutup-nutupi atau mengalihkan perhatian anak. Dan yang ketiga, langsung menjawabnya, meski dalam kondisi hati seperti gunung berapi yang ingin ‘meledak” dan dengan jawaban yang pas-pasan.
Ketiga, Tapi pilihan yang terakhir hanya dilakukan segelintir orang saja. Yakni mendampinginya dengan jawaban-jawaban sesuai kebutuhannya. *Lukman-Al-hakim dot com
** Penulis adalah Konselor Psikologi Anak SD Luqmanul Hakim,PP Hidayatullah, Surabaya. Selain menjadi pengasuh rubrik curhat Majalah Remaja MUSLIMAH Jakarta, kini sedang menyiapkan buku bertema ‘Pendidikan Seks untuk Anak.
Akhir 1997, majalah Gatra-bekerja sama Laboratorium Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (LIP FISIP-UI)-- menjaring 800 responden remaja berusia 15-22 tahun di Jakarta. Hasilnya, sebanyak 45,9% (367 responden) memandang berpelukan antarlawan jenis adalah hal wajar, 47,3% (378 responden) membolehkan cium pipi, 22% tak menabukan cium bibir, 11% (88 orang) oke saja dengan necking alias cium leher atau cupang, 4,5% (36 responden) tak mengharamkan kegiatan raba-meraba, 2,8% (22 responden) menganggap wajar melakukan petting. Dan 1,3% (10 responden) tak melarang senggama di luar nikah.
Sebuah baseline survey di Semarang yang melibatkan 127 orang responden, yang dilakukan Pilar-PKBI Jawa Tengah yang bekerjasama dengan Tim Embrio 2000, pada tahun 2000 di Semarang menujukkan bahwa 48% responden pernah meraba daerah sensitif saat berpacaran, 28% responden telah melakukan petting dan 20% melakukan hubungan seksual.3
Setiap tahun dari 3000 remaja --sekitar 1 diantara 4 remaja yang secara seksual aktif tertular Penyakit Menular Seksual (PMS). Survei juga didapati, bila remaja memiliki rata-rata tertinggi tertular gonorrhea dibanding dengan orang dewasa yang seksual aktif dan wanita berumur 20-44 tahun.
Inilah angka-angka menakutkan berkaitan dengan perkembangan remaja kita hari ini. Persoalan ini menunjukkan kepada kita bahwa perkembangan seksualitas anak dan remaja kita, dari tahun ke tahun semakin bertambah.
Masalahnya, perkembangan itu bukan bertambah baik tapi justru semakin mengerikan. Sebab, umumnya, perkembangan hubungan seksualitas anak dan remaja kita diakibatkan adanya persepsi yang keliru mengenai pacaran. Banyak orang tua tertipu penampilan anak-anak mereka. Di rumah, dia adalah anak yang sopan, pendian dan terkesan lugu. Namun diluar sana, dia justru mengahkan orang-orang dewasa. Bahkan, mungkin lebih gila dari sekedar itu.
Konseling Sahaja-PKBI DIY pernah meneliti menyangkut persoalan remaja, khususnya menyangkut hubungan pacaran. Penelitian –yang sebenarnya merupakan rekap konsultasi itu—dilakukan sejak tahun 1998 hingga 1999 dilakukan terhadap 1.514 klien. Berdasarkan laporan itu, hampir separuh (48 persen) dari 1.514 klien yang melakukan konsultasi, mengalami permasalahan seputar pacaran. Misalnya; persoalan komunikasi (30 persen), taksir-menaksir (25 persen), perselingkuhan (4 persen) serta permasalahan patah hati, kekerasan, persiapan pernikahan, beda agama, konflik dengan pihak ketiga dan lain sebagainya. Namun yang lebih menarik dari penelitian itu adalah keberanian para anak dan remaja kita dalam melakukan aktifitas seksual yang seharusnya hanya dilakukan oleh pasangan suami-istri yang syah.
Mengapa terjadi masalah seperti ini? Jawabannya mungkin panjang. Hanya saja, salah satu factor utama adalah masalah berkaitan dengan pendidikan seksual anak-anak kita. Atau bisa juga disebut dengan ‘pendidikan kedewasaan’.
Istilah pendidikan seks, sering dipahami keliru banyak orang seolah-olah mengajarkan pendidikan hubungan intim layaknya apa yang dilakukan suami-istri. Padahal, yang dimaksud dari makalah ini adalah tidaklah demikian.
Sering kita menghadapi pertanyaan sepele dari buah hati kita menyangkut masalah seksual. Misalnya; saat anak bertanya, “Umi, dari mana adik lahir? Kenapa ibu bisa hamil? Pacaran itu boleh nggak sih? Umi, kenapa sih wanita bisa hamil sedang pria tidak?
Biasanya, para orangtua, senantiasa menghadapi pertanyaan ini dengan emosional. Ada tiga cara yang dilakukan orangtua:
Pertama, Pertama, langsung menampar atau membentak. “Husss! Anak kecil tak boleh bicara itu. Awas kalau diulangi lagi!.
Kedua, berusaha menutup-nutupi atau mengalihkan perhatian anak. Dan yang ketiga, langsung menjawabnya, meski dalam kondisi hati seperti gunung berapi yang ingin ‘meledak” dan dengan jawaban yang pas-pasan.
Ketiga, Tapi pilihan yang terakhir hanya dilakukan segelintir orang saja. Yakni mendampinginya dengan jawaban-jawaban sesuai kebutuhannya. *Lukman-Al-hakim dot com
** Penulis adalah Konselor Psikologi Anak SD Luqmanul Hakim,PP Hidayatullah, Surabaya. Selain menjadi pengasuh rubrik curhat Majalah Remaja MUSLIMAH Jakarta, kini sedang menyiapkan buku bertema ‘Pendidikan Seks untuk Anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar